Pfhhhhtt… akhirnya keluar juga postingan ini. Setelah
sebelumnya berasa nano-nano mau nulis. Antara gemes, takut, merasa bersalah,
merasa perlu menyampaikan, malu, dan sebagainya mengenai isi postingan ini.
Kok bisa begitu? Yaaa bisa …..
Ceritanya beberapa minggu lalu si Bunga (nama samaran)
ngajakin sebut saja Alfi (nama tidak disamarkan. Hahaha) ke suatu tempat:
“Pasar S*nen yuuuk,
mau cari bahan baju nih. Sama pengen beli novel XXX juga nih, pengen baca.
Kayanya bagus deh.”
Dengan girangnya orang berdua ini pengen kesana, dalihnya
sekalian cari “buku murah”. Kebetulan lagi pengen mencari beberapa novel karya
penulis lokal yang sedang booming. Niatnya untuk mengisi waktu senggang di
akhir pekan, daripada keluyuran atau nonton versi filmnya kan sekali abis.
Nggak ada bekas fisiknya kalau cuma nonton.
Tiba-tiba seorang teman, sebut saja Daun (nama samaran juga
hahaha), nyeletuk begini:
“iiiih ko beli buku “nggak
asli” sih. Kan kasian penulisnya. Nanti nggak berkah loooh isinya.”
Seketika itu berasa #jleb bingo your shoot was fortunately
hit right to my heart (or my head?). Oke abaikan saja benar atau tidaknya pemilihan
kata antara heartshot atau headshot.
Kenapa harga buku di tempat itu murah?
Karena Abang2 penjualnya emang ngasih harga segitu.
Kenapa harganya bisa segitu?
Karena berarti Abang2 penjual beli dengan harga yang lebih
murah dari produsennya.
Kenapa si produsen buku bisa ngejual dengan harga yang lebih
murah?
Karena berarti ongkos produksinya lebih murah.
Kenapa ongkos produksinya bisa lebih murah?
Karena……………………………………. nggak tau.
Kenapa nggak tahu?
Pengen dilempar sandal nih kalo nanya lagi? :-|
Oke, singkatnya buku-buku yang dijual di tempat tersebut (diduga)
adalah buku bajakan.
Yep, bisa dibilang sudah jadi rahasia umum kalau sebuah
pasar tradisional di bilangan daerah tersebut adalah pusat “buku murah”. Rahasia
level kotamadya, rahasia level provinsi, apa malahan level Negara kali (lebay).
Mengapa disebut buku bajakan?
Jadi, buku bajakan adalah buku yang diproduksi (kemudian
dikomersilkan) secara illegal. Disebut illegal karena si produsen tidak
membayar pajak pada pemerintah atas usahanya tersebut, atau lebih jauh hal ini
berkaitan dengan adanya unsur pelanggaran atas copyright (lebih lengkap tentang
copyright bisa dibaca disini). Copyright atau hak cipta ini biasanya diberikan kepada
pencipta suatu karya, salah satunya ya penulis buku ini.
Kemudian kenapa kasus “bajak-membajak” ini dikategorikan illegal?
Karena dalam proses pelanggaran atas copyright tadi, si “pembajak”
tidak memberi royalty pada sang pemegang copyright. Akibatnya tentu si pencipta
mengalami kehilangan materiil karena tidak dibayarkannya royalty. Naaah tidak
adanya unsur pembayaran royalty pada pemegang copyright-lah yang membuat ongkos
produksi jadi lebih murah, yang berimbas juga pada lebih murahnya harga buku
bajakan tersebut.
Selain, mungkin juga karena kualitas bahan yang digunakan
untuk memproduksi lebih rendah daripada buku aslinya. Tapi untuk factor kualitas
yang lebih rendah, mungkin terkadang bisa diabaikan. Buktinya, sekarang ini buku-buku
yang dijual di “emperan” pun nggak
jelek-jelek amat, dibaca berulang-ulang pun tidak mudah rusak. Jadi, factor
utamanya (mungkin) lebih kepada tidak dibayarkannya copyright yang membuat harga jualnya
berbeda drastic.
Dalam memandang kasus “bajak-membajak” ini sebenarnya ada
tiga jenis kubu: yang kontra, yang pro, dan yang ngambang alias ragu-ragu.
Kalangan yang kontra
berpendapat bahwa pembajakan atas kekayaan intelektual merupakan suatu bentuk
pelanggaran atas Hak Asasi Manusia (HAM). Sudah sepantasnya, bahwa kerja keras
seseorang dalam menghasilkan sesuatu yang orisinil atas ide dan pemikirannya, mendapatkan
imbalan atas usaha tersebut.
Sementara kalangan yang Pro
berargumen bahwa adanya barang bajakan membuat terciptanya aspek keterjangkauan
bagi masyarakat kalangan bawah. Bayangkan saja dengan kondisi ekonomi
masyarakat di Negara ini yang serbasulit, jika kembali dibebani dengan harga
buku-buku yang (relative) mahal, makin tak terjangkaulah kepemilikan buku oleh
masyarakat bawah. Padahal tuntutan kebutuhan akan pengetahuan (red: dengan
membeli buku) juga sangat ingin dipenuhi. Minat baca yang sudah demikian
rendah, jika kembali dibebani dengan harga buku yang mahal, apa kata dunia?
Yang demikian dapat dimaklumi, jika semuanya berjalan dengan tidak mengabaikan nilai-nilai sosial. Namun jika hal-hal tersebut menciptakan ekonomi biaya
tinggi, tentu muncul masalah baru. Namun jika urusan paten-mematenkan penemuan
atau karya ini berkembang ke arah monopoli (mengenai hal ini ada artikel yang saya baca mengenai monopoli atas paten terhadap obat atau vaksin tertentu yang
dilakukan oleh Negara maju), bagaimana menyikapinya? Siapa yang bisa menjamin
bahwa hal tersebut tidak akan meluas dalam perkembangannya?
Kemudian yang terakhir, adalah kalangan yang galau. Dalam
artian, bingung menentukan salah atau benarnya kasus tersebut sehingga pada
akhirnya tidak berani memutuskan. Di satu sisi mereka mengangguk-angguk mafhum
ketika dikatakan bahwa tindakan tersebut melanggar etik-moral, sementara di sisi
lain mereka masih juga menumbuhsuburkan praktek bajak-membajak ini. Dengan cara
“paling tidak” sebagai konsumen, walaupun bukan bertindak sebagai produsen.
Sialnya, dualisme pemikiran yang seringkali mereka alami ini sama-sama muncul
dari lubuk hati yang paling dalam pada waktu bersamaan.
“Dibeli, takut salah,
tidak dibeli lah kok butuh”atau “Beli
yang asli kok mahal, beli yang “palsu” takut salah juga.”
Bahkan saya sendiri pun mengakui berada dalam kelompok yang
ketiga. Buku-buku kuliah saya banyak yang fotocopyan, beberapa novel yang saya
miliki juga buku bajakan. Shame on me :’(
Saya pernah mendiskusikan ini dengan senior saya di kantor
(sebut saja Kasi hahaha). Dalam sudut pandang sebagai konsumen bahwa setidaknya
ada tiga alasan yang melatarbelakangi kasus ini:
Yang pertama adalah aspek harga. Aspek ini bisa dikatakan
aspek utama yang biasanya melatarbelakangi konsumen untuk membeli barang
bajakan.
Yang kedua adalah aspek kemudahan akses. Kalau buku-bukunya
hanya diterbitkan di negeri antah berantah kemudian sulit untuk mendapatkan
yang asli. Sementara kita butuh sangat dengan buku itu, yaa terpaksaaa L
Yang ketiga adalah aspek apa yaa? Lupaaaaa. Udah lama nggak
ditulis si. Hahahaha
Sebenarnya yang namanya barang bajakan itu bukan cuma buku,
banyaaaaak sekali contoh barang2 lain yang juga biasanya “dibajak” sama oknum2
tertentu. Produk elektronik, fashion, alat rumah tangga, kosmetik, dan banyak lagi yang lainnyaaaa (nada
lagu Rhoma Irama :p )
Last but not at least, yang paling utama dalam memutus mata
rantai tumbuhsuburnya praktek bajak membajak adalah MENTAL. Yes, mental saya tulis pakai capslock dan juga saya higlight. Lebay tapi nggak lebay :p
Mau
sebanyak apapun duit yang kita punya buat beli barang yang kita butuhkan, kalau
mentalnya masih mental Pirate of The Carribean (hahaha) yaaa tetep aja nggak
bisa menghargai hasil karya orang lain. Biarpun dalam kenyataannya hokum mengkonsumsi
barang bajakan masih belum bisa diputuskan secara pasti, kan alangkah baiknya
kita melakukan hal yang baik. Tidak bertentangan dengan moral, tidak merugikan
orang lain, hati pun menjadi lebih tentram. Bukankah agama kita juga mengajarkan
menghindari sesuatu yang syubhat? Biar lebih afdhol, dan insyaAllah berkah :-)
Saya pun masih belajar untuk terus dan terus mengurangi praktek ini. Semoga kita
senantiasa diberikan jalan untuk berubah menjadi lebih baik yaaa …
P.S. : yang kemarin itu, akhirnya saya nggak jadi beli buku
bajakannya looooh. Niatnya beli buku itu ke toko buku, eeeh malahan naksir sama
buku lain. Yang penting asli laah :p
Jadi inget kata bapak dosen ganteng, "Apa karna bukunya fotokopian (a.k.a bajakan) makanya ilmunya gak berkah?" *jleb*
BalasHapusaku tambahin nih Mbaak #jlebjlebjlebjlebjleb
HapusKenak di bagian mana aja tuh Mbaak? :p
Dari hasil browsing ada yang bilang kalo posisinya sebagai konsumen, cuma kena hukum makruh si Mbak. Tapi yaa wallahu a'lam. Semoga kita diberi kekuatan untuk menghindari hal2 yang sifatnya zhalim :)