![]() |
Sumber: http://salingsilang.com/baca/tweeps-antisipasi-hari-buruh-sedunia-besok |
Peringatan
Hari Buruh Internasional yang jatuh pada tanggal 1 Mei atau yang dikenal dengan
Mayday mungkin sudah sangat akrab di telinga kita. Orasi, demonstrasi, longmarch
dan semacamnya seolah menjadi ritual wajib di seluruh dunia pada peringatan
Mayday ini.
Sebagian
orang mungkin memandang sinis aksi-aksi ini. Bikin macet? Yaa, menurunkan
produksi, iyaa karna libur barang sehari bagi perusahaan-perusahaan dengan
kapasitas produksi tinggi dan penguasaan pasar yang luas tentu sangat
signifikan mempengaruhi pendapatannya. Namun, pernahkah kita memandang sejenak
dari sudut pandang buruh? Apa tujuan mereka melakukan aksi semacam ini? Apa
yang diusung dari “ritual” ini?
Buruh
merupakan unsur yang sangat penting dalam menggerakkan roda perekonomian.
Bayangkan jika semua orang memposisikan diri sebagai pemilik modal, pengusaha,
berlomba-lomba menciptakan perusahaan masing-masing, lalu siapa yang akan
bekerja pada perusahaan yang ia bangun kalau semua jadi “petinggi” perusahaan?
Tentu jawabannya adalah buruh, yang bisa dibilang ujung tombak dari segala rupa
perusahaan yang bergerak di bidang masing-masing. Penggunaan ilustrasi yang
agak hiperbola memang, tapi setidaknya cukup untuk menunjukkan seberapa
pentingnya peran buruh dalam perekonomian.
Sayangnya
pentingnya peran buruh, saat ini tidak seimbang dengan pemenuhan hak-haknya
sebagai pekerja. Buruh dipandang hanya sebagai factor produksi, dengan
mengurangi hak-haknya sebagai manusia yang tentu membutuhkan kompensasi untuk
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Praktek mengenai pengabaian hak buruh ini banyak
sekali terjadi. Mulai dari pemberian upah yang kurang layak, kurangnya
pemberian jaminan social, hingga yang sedang marak dibahas mengenai kasus
outsourcing.
Seperti
yang fasih ditafsirkan dalam ilmu ekonomi, dalam melakukan kegiatan ekonomi
tentu semua pihak berpedoman untuk mencapai keuntungan maksimum dengan biaya
minimum. Namun tampaknya hal inilah yang menjadi landasan saklek para produsen sehingga seperti yang disebutkan tadi seringkali
buruh hanya dipandang sebagai factor produksi yang bisa dieksploitasi sesukanya
demi mengeruk keuntungan maksimum.
Dengan
semakin meningkatnya harga-harga kebutuhan, kenaikan jumlah upah yang mengimbangi
kenaikan inflasi tentu sangat dibutuhkan oleh semua penerima pendapatan, tidak
terkecuali buruh. Buruh yang dapat dikatakan memiliki posisi bargaining power
lebih lemah tentu tidak mudah untuk menuntut ketika perusahaan yang
mempekerjakannya membayar dengan upah yang tidak sebanding dengan pekerjaannya.
Hal ini membuat “oknum” perusahaan menjadi semakin leluasa membayar upah dalam
jumlah yang kecil, demi memaksimalkan laba perusahaan.
System
outsourcing yang berkembang saat ini juga semakin mengucilkan hak buruh. Definisi
outsourcing seperti dikutip dari Wikipedia adalah
pemindahan pekerjaan (operasi) dari satu perusahaan
ke pihak (perusahaan) lain. Hal ini biasanya dilakukan untuk memperkecil biaya
produksi atau untuk memusatkan perhatian kepada hal utama dari perusahaan
tersebut.
Sistem yang demikian memungkinkan perusahaan untuk
melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena kontrak yang telah habis atau
tanpa alasan. Sistem ini juga memungkinkan buruh tidak mendapat pesangon atau
tunjangan pasaca PHK karena tidak ada kewajiban bagi perusahaan untuk membayar
pesangon. Hal inilah yang sangat merugikan buruh.
Secara eksplisit dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13
Tahun 2003 memang tidak disebutkan istilah outsourcing ini. Namun beberapa
pasal dalam UU ini dan juga pasal 1601 a KUH Perdata seolah menjadi landasan
praktek “legal” dari kegiatan outsourcing. Dalam UU, terdapat dua macam praktek
outsourcing yaitu: pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh (dalam pasal 64-66).
Masalah-masalah mengenai tuntutan perbaikan kesejahteraan
buruh tentu sangat penting untuk ditindaklanjuti. Pandangan yang mensetarakan
hak buruh sebagai unsure pelaku ekonomi yang juga memerlukan kompensasi untuk
memenuhi kebutuhannya perlu diciptakan demi kemaslahatan bersama.
Dengan banyaknya masalah yang dihadapi mengenai perbaikan
kesejahteraan buruh, momen MAYDAY ini selayaknya dapat dipandang sebagai
momentum untuk mengingatkan kembali pentingnya buruh dan juga gerakan massal yang
memperjuangkan tuntutan atas pemenuhan hak-hak buruh yang belum terealisasi.
Peringatan momen Mayday ini semoga dapat menjadi periode loncatan
untuk terus menciptakan win-win solution untuk semua, baik perusahaan atau
buruh.
Dari berbagai sumber.
Regards,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar