Rabu, 23 Januari 2013

Barang Bajakan: Yes or No?



Pfhhhhtt… akhirnya keluar juga postingan ini. Setelah sebelumnya berasa nano-nano mau nulis. Antara gemes, takut, merasa bersalah, merasa perlu menyampaikan, malu, dan sebagainya mengenai isi postingan ini.

Kok bisa begitu? Yaaa bisa …..
Ceritanya beberapa minggu lalu si Bunga (nama samaran) ngajakin sebut saja Alfi (nama tidak disamarkan. Hahaha) ke suatu tempat:

“Pasar S*nen yuuuk, mau cari bahan baju nih. Sama pengen beli novel XXX juga nih, pengen baca. Kayanya bagus deh.”

Dengan girangnya orang berdua ini pengen kesana, dalihnya sekalian cari “buku murah”. Kebetulan lagi pengen mencari beberapa novel karya penulis lokal yang sedang booming. Niatnya untuk mengisi waktu senggang di akhir pekan, daripada keluyuran atau nonton versi filmnya kan sekali abis. Nggak ada bekas fisiknya kalau cuma nonton.

Tiba-tiba seorang teman, sebut saja Daun (nama samaran juga hahaha), nyeletuk begini:

“iiiih ko beli buku “nggak asli” sih. Kan kasian penulisnya. Nanti nggak berkah loooh isinya.”

Seketika itu berasa #jleb bingo your shoot was fortunately hit right to my heart (or my head?). Oke abaikan saja benar atau tidaknya pemilihan kata antara heartshot atau headshot.


Kenapa harga buku di tempat itu murah?

Karena Abang2 penjualnya emang ngasih harga segitu.

Kenapa harganya bisa segitu?

Karena berarti Abang2 penjual beli dengan harga yang lebih murah dari produsennya.

Kenapa si produsen buku bisa ngejual dengan harga yang lebih murah?

Karena berarti ongkos produksinya lebih murah.


Kenapa ongkos produksinya bisa lebih murah?

Karena……………………………………. nggak tau.


Kenapa nggak tahu?

Pengen dilempar sandal nih kalo nanya lagi? :-|

Oke, singkatnya buku-buku yang dijual di tempat tersebut (diduga) adalah buku bajakan.

Yep, bisa dibilang sudah jadi rahasia umum kalau sebuah pasar tradisional di bilangan daerah tersebut adalah pusat “buku murah”. Rahasia level kotamadya, rahasia level provinsi, apa malahan level Negara kali (lebay).

Mengapa disebut buku bajakan?
Jadi, buku bajakan adalah buku yang diproduksi (kemudian dikomersilkan) secara illegal. Disebut illegal karena si produsen tidak membayar pajak pada pemerintah atas usahanya tersebut, atau lebih jauh hal ini berkaitan dengan adanya unsur pelanggaran atas copyright (lebih lengkap tentang copyright bisa dibaca disini). Copyright atau hak cipta ini biasanya diberikan kepada pencipta suatu karya, salah satunya ya penulis buku ini.

Kemudian kenapa kasus “bajak-membajak” ini dikategorikan illegal?
Karena dalam proses pelanggaran atas copyright tadi, si “pembajak” tidak memberi royalty pada sang pemegang copyright. Akibatnya tentu si pencipta mengalami kehilangan materiil karena tidak dibayarkannya royalty. Naaah tidak adanya unsur pembayaran royalty pada pemegang copyright-lah yang membuat ongkos produksi jadi lebih murah, yang berimbas juga pada lebih murahnya harga buku bajakan tersebut.
Selain, mungkin juga karena kualitas bahan yang digunakan untuk memproduksi lebih rendah daripada buku aslinya. Tapi untuk factor kualitas yang lebih rendah, mungkin terkadang bisa diabaikan. Buktinya, sekarang ini buku-buku yang dijual di “emperan” pun nggak jelek-jelek amat, dibaca berulang-ulang pun tidak mudah rusak. Jadi, factor utamanya (mungkin) lebih kepada tidak dibayarkannya copyright yang membuat harga jualnya berbeda drastic.

Dalam memandang kasus “bajak-membajak” ini sebenarnya ada tiga jenis kubu: yang kontra, yang pro, dan yang ngambang alias ragu-ragu.

Kalangan yang kontra berpendapat bahwa pembajakan atas kekayaan intelektual merupakan suatu bentuk pelanggaran atas Hak Asasi Manusia (HAM). Sudah sepantasnya, bahwa kerja keras seseorang dalam menghasilkan sesuatu yang orisinil atas ide dan pemikirannya, mendapatkan imbalan atas usaha tersebut.

Sementara kalangan yang Pro berargumen bahwa adanya barang bajakan membuat terciptanya aspek keterjangkauan bagi masyarakat kalangan bawah. Bayangkan saja dengan kondisi ekonomi masyarakat di Negara ini yang serbasulit, jika kembali dibebani dengan harga buku-buku yang (relative) mahal, makin tak terjangkaulah kepemilikan buku oleh masyarakat bawah. Padahal tuntutan kebutuhan akan pengetahuan (red: dengan membeli buku) juga sangat ingin dipenuhi. Minat baca yang sudah demikian rendah, jika kembali dibebani dengan harga buku yang mahal, apa kata dunia?

Yang demikian dapat dimaklumi, jika semuanya berjalan dengan tidak mengabaikan nilai-nilai sosial. Namun jika hal-hal tersebut menciptakan ekonomi biaya tinggi, tentu muncul masalah baru. Namun jika urusan paten-mematenkan penemuan atau karya ini berkembang ke arah monopoli (mengenai hal ini ada artikel yang saya baca mengenai monopoli atas paten terhadap obat atau vaksin tertentu yang dilakukan oleh Negara maju), bagaimana menyikapinya? Siapa yang bisa menjamin bahwa hal tersebut tidak akan meluas dalam perkembangannya?

Kemudian yang terakhir, adalah kalangan yang galau. Dalam artian, bingung menentukan salah atau benarnya kasus tersebut sehingga pada akhirnya tidak berani memutuskan. Di satu sisi mereka mengangguk-angguk mafhum ketika dikatakan bahwa tindakan tersebut melanggar etik-moral, sementara di sisi lain mereka masih juga menumbuhsuburkan praktek bajak-membajak ini. Dengan cara “paling tidak” sebagai konsumen, walaupun bukan bertindak sebagai produsen. Sialnya, dualisme pemikiran yang seringkali mereka alami ini sama-sama muncul dari lubuk hati yang paling dalam pada waktu bersamaan.
“Dibeli, takut salah, tidak dibeli lah kok butuh”atau “Beli yang asli kok mahal, beli yang “palsu” takut salah juga.”

Bahkan saya sendiri pun mengakui berada dalam kelompok yang ketiga. Buku-buku kuliah saya banyak yang fotocopyan, beberapa novel yang saya miliki juga buku bajakan. Shame on me :’(


Saya pernah mendiskusikan ini dengan senior saya di kantor (sebut saja Kasi hahaha). Dalam sudut pandang sebagai konsumen bahwa setidaknya ada tiga alasan yang melatarbelakangi kasus ini:

Yang pertama adalah aspek harga. Aspek ini bisa dikatakan aspek utama yang biasanya melatarbelakangi konsumen untuk membeli barang bajakan.
Yang kedua adalah aspek kemudahan akses. Kalau buku-bukunya hanya diterbitkan di negeri antah berantah kemudian sulit untuk mendapatkan yang asli. Sementara kita butuh sangat dengan buku itu, yaa terpaksaaa L
Yang ketiga adalah aspek apa yaa? Lupaaaaa. Udah lama nggak ditulis si. Hahahaha

Sebenarnya yang namanya barang bajakan itu bukan cuma buku, banyaaaaak sekali contoh barang2 lain yang juga biasanya “dibajak” sama oknum2 tertentu. Produk elektronik, fashion, alat rumah tangga, kosmetik, dan banyak lagi yang lainnyaaaa (nada lagu Rhoma Irama :p )

Last but not at least, yang paling utama dalam memutus mata rantai tumbuhsuburnya praktek bajak membajak adalah MENTAL. Yes, mental saya tulis pakai capslock dan juga saya higlight. Lebay tapi nggak lebay :p 
Mau sebanyak apapun duit yang kita punya buat beli barang yang kita butuhkan, kalau mentalnya masih mental Pirate of The Carribean (hahaha) yaaa tetep aja nggak bisa menghargai hasil karya orang lain. Biarpun dalam kenyataannya hokum mengkonsumsi barang bajakan masih belum bisa diputuskan secara pasti, kan alangkah baiknya kita melakukan hal yang baik. Tidak bertentangan dengan moral, tidak merugikan orang lain, hati pun menjadi lebih tentram. Bukankah agama kita juga mengajarkan menghindari sesuatu yang syubhat? Biar lebih afdhol, dan insyaAllah berkah :-)

Saya pun masih belajar untuk terus dan terus mengurangi praktek ini. Semoga kita senantiasa diberikan jalan untuk berubah menjadi lebih baik yaaa …



P.S. : yang kemarin itu, akhirnya saya nggak jadi beli buku bajakannya looooh. Niatnya beli buku itu ke toko buku, eeeh malahan naksir sama buku lain. Yang penting asli laah :p

2 komentar:

  1. Jadi inget kata bapak dosen ganteng, "Apa karna bukunya fotokopian (a.k.a bajakan) makanya ilmunya gak berkah?" *jleb*

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku tambahin nih Mbaak #jlebjlebjlebjlebjleb


      Kenak di bagian mana aja tuh Mbaak? :p

      Dari hasil browsing ada yang bilang kalo posisinya sebagai konsumen, cuma kena hukum makruh si Mbak. Tapi yaa wallahu a'lam. Semoga kita diberi kekuatan untuk menghindari hal2 yang sifatnya zhalim :)

      Hapus